Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa.
Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (Tionghoa: 正月; pinyin: zhēng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh
十五冥 元宵节 di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).
Malam tahun
baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan
Tahun Baru Imlek sangat beragam.
Namun, kesemuanya banyak berbagi tema
umum seperti perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta
penyulutan kembang api.
Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor
tahun malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori
dari pemerintahan Huangdi.
Setidaknya sekarang ada tiga tahun berangka 1 yang digunakan oleh
berbagai ahli, sehingga pada tahun 2009 masehi "Tahun Tionghoa" dapat
jadi tahun 4707, 4706, atau 4646.
Dirayakan di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek
dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki
pengaruh pada perayaan tahun baru di tetangga geografis Tiongkok, serta
budaya yang dengannya orang Tionghoa berinteraksi meluas.
Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan Jepang (sebelum 1873).
Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan, Singapura, Indonesia,
Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau daerah dengan
populasi suku Han
yang signifikan,
Tahun Baru Imlek juga dirayakan, dan pada berbagai
derajat, telah menjadi bagian dari budaya tradisional dari negara-negara
tersebut.
Asal Usul Sejarah Tahun Baru Imlek
Sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan permulaan sesuatu tahun masih belum jelas.
Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti
Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou
di China.
Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa
sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah
bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou
(menurut Sima Qian).
Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM.
Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han
menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun sampai sekarang.
Tahun pertama
Tahun Baru Imlek/Yinli dihitung berdasarkan tahun pertama kelahiran
Kongfuzi (Confucius), hal ini dilakukan oleh Kaisar Han Wudi sebagai
penghormatan kepada Kongfuzi yang telah mencanangkan agar menggunakan
sistem penanggalan Dinasti Xia dimana Tahun Baru dimulai pada tanggal 1
bulan kesatu.
Oleh sebab itu sistem penanggalan ini dikenal pula dengan
Kongzili.
MITOS
Menurut legenda, dahulu kala, Nián (年)
adalah seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam
hikayat lain, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk
memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa.
Untuk melindungi
diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada
awal tahun.
DIpercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan
yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri
ternak dan hasil Panen.
Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian
lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan
pakaian berwarna merah.
Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan
warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk
akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan
pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian.
Adat-adat pengusiran Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan Tahun
Baru.
Guò nián (Hanzi tradisional: 過年; Tionghoa: 过年), yang berarti "menyambut tahun baru", secara harafiah berarti "mengusir Nian".
Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa.
Nian pada akhirnya ditangkap oleh 鸿钧老祖 atau 鸿钧天尊Hongjun Laozu, seorang
Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.
Tanggal Perayaan
Kalender suryacandra
Tionghoa menentukan tanggal Tahun Baru Imlek.
Kalender tersebut juga
digunakan di negara-negara yang telah mengangkat atau telah dipengaruhi
oleh budaya Han (terutama di Korea, Jepang, dan Vietnam) dan mungkin
memiliki asal yang serupa dengan perayaan Tahun Baru di luar Asia Timur
(seperti Iran, dan pada zaman dahulu kala, daratan Bulgar).
Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Imlek jatuh pada tanggal yang
berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari.
Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi
di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Imlek biasanya jatuh pada bulan
baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang
ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat).
Di budaya tradisional di
Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.
Penanggalan Untuk Tahun Baru Imlek ari 1996 - 2019
Tikus : 19 Februari 1996 & 7 Februari 2008
Sapi : 7 Februari 1997 & 26 Januari 2009
Macan : 28 Januari 1998 & 14 Februari 2010
Kelinci : 16 Februari 1999 & 3 Februari 2011
Naga : 5 Februari 2000 & 23 Januari 2012
Ular : 24 Januari 2001 & 10 Februari 2013
Kuda : 12 Februari 2002 & 31 Januari 2014
Kambing : 1 Februari 2003 & 19 Februari 2015
Monyet : 22 Januari 2004 & 8 Februari 2016
Ayam : 9 Februari 2005 & 28 Januari 2017
Anjing : 29 Januari 2006 & 16 Februari 2018
Babi : 18 Februari 2007 & 5 Februari 2019
Tanggal untuk Tahun Baru Imlek dari 1996 sampai 2019 (dalam
penanggalan Gregorian) dapat dilihat di tabel di atas, bersamaan dengan
shio hewan untuk tahun itu dan cabang duniawinya.
Bersamaan dengan daur
12-tahun masing-masing dengan shio hewan ada daur 10-tahun batang
surgawi.
Setiap surgawi dikaitkan dengan salah satu dari lima elemen
perbintangan Cina, yaitu: Kayu, Api, Bumi, Logam, dan Air.
Unsur-unsur
tersebut diputar setiap dua tahun sekali sementara perkaitan yin dan
yang silih berganti setiap tahun.
Unsur-unsur tersbut dengan itu
dibedakan menjadi: Kayu Yang, Kayu Yin, Api Yang, Api Yin, dan
seterusnya.
Hal ini menghasilkan sebuah daur gabungan yang berulang
setiap 60 tahun.
Sebagai contoh, tahun dari Tikus Api Yang terjadi pada
1936 dan pada tahun 1996.
Banyak orang mengacaukan tahun kelahiran Tionghoa dengan tahun
kelahiran Gregorian mereka.
Karena Tahun Baru Imlek dapat dimulai pada
akhir Januari sampai pertengahan Februari, tahun Tionghoa dari 1 Januari
sampai hari imlek pada tahun baru Gregorian tetap tidak berubah dari
tahun sebelumnya.
Sebagai contoh, tahun ular 1989 mulai pada 6 Februari
1989.
Tahun 1990 dianggap oleh beberapa orang sebagai tahun kuda.
Namun,
tahun ular 1989 secara resmi berakhir pada 26 Januari 1990.
Ini berarti
bahwa barang siapa yang lahir dari 1 Januari ke 25 Januari 1990 sebenarnya lahir pada tahun ular alih-alih tahun kuda.
Asal Usul Sejarah Tahun Baru Imlek di Indonesia
Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum.
Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah
pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau
Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan
merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman
Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001
yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi
mereka yang merayakannya).
Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari
libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia baru berdiri, Presiden
Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang hari-hari raya umat
beragama No.2/OEM-1946 yang pada pasal 4 nya ditetapkan 4 hari raya
orang Tionghoa yaitu Tahun Baru Imlek, hari wafatnya Khonghucu ( tanggal
18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng dan hari lahirnya Khonghucu (tanggal 27
bulan 2 Imlek).
Dengan demikian secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari
Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk
merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada
Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata
alias Ong Tjong Hay.
Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut
terlalu berlebihan, dan tetap mengijinkan perayaan Imlek, adat istiadat,
dan budaya tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga
tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari
diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi
Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat Cina.
Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara
Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di
lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Instruksi Presiden ini
bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas
diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk
Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya.
Dengan dikeluarkannya Inpres
tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk
Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan
secara terbuka.
Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang
dipertunjukkan.
Tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera
Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor
286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan yang masih
menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai
upaya asimilasi.
Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan
Bangsa (LPKB).
LPKB menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar :
- Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
- Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
- Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan dan adat istiadat
Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan
Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan
tahun baru imlek.
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC).
BKMC berada di bawah BAKIN yang
menerbitkan tak kurang dari 3 jilid buku masing-masing setebal 500
halaman, yaitu "Pedoman Penyelesaian Masalah Cina" jilid 1 sampai 3.
Dalam hal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap
keturunan Cina dan kebiasaan serta kebudayaan Cina, termasuk agama,
kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa sebagai "masalah" yang merongrong
negara dan harus diselesaikan secara tuntas.
Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978
tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa
pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama
Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP,
yang di dukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan
dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan
terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang
Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik,
Buddha bahkan ke Islam.
Demikian juga seluruh perayaan ritual
kepercayaaan, agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun
Baru baru Imlek menjadi surut dan pudar.
Surat dari Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Depag No H/BA.00/29/1/1993
menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya.
Kemudian
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) mengeluarkan Surat Edaran No
07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 yang menyatakan bahwa
Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Buddha, sehingga Vihara
Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong
Toapekong, dan acara Barongsai.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan
Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang
pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa.
Dengan
dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan
untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk
merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya
secara terbuka.
Pada Imlek 2551 Kongzili di tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama
Konghucu Indonesia (MATAKIN) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek
secara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional
dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya.
Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan
No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur
Nasional Fakultatif.
Pada saat menghadiri perayaan Imlek 2553 Kongzili, yang
diselenggarakan Matakin dibulan Februari 2002 Masehi, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengumumkan mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional.
Pengumuman ini ditindak lanjuti dengan dikeluarnya Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek
tertanggal 9 April.
Singkawangfai.blogspot.com
Khusus Singkawang
Sabtu, 23 Agustus 2014
Jumat, 22 Agustus 2014
Asal usul Kota Singkawang
foto singkawang tempo doeloe
Singkawang atau bisa disebut KOTA AMOY adalah
sebuah kota yang dulunya menjadi ibu kota Sambas dan setelah di lakukan
pemekaran kabupaten Sambas singkawang menjadi bagian dari kabupaten
Bengkayang.Dengan UU No 12 tahun 2001 Singkawang resmi menjadi Pemerintahan
kota Singkawang.Singkawang terletak 145 km dari ibu kota provinsi KAL-BAR yaitu
Pontianak dan terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Singkawang utara, Singkawang
selatan, Singkawang barat, Simgkawang timur, dan Singkawang tengah.
Nama unik kota Singkawang mempunyai beberapa asal-usul. Ada yang
mengatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman yaitu
"TENGKAWANG" yang terdapat di wilayah hutan tropika. Dalam versi
orang cina atau Tionghua dari suku "KHEK/HAKKA" kata Singkawang
berasal dari kata Sau Kew Jong yang berarti kota
yang terletak diantara laut,muara,gunung,dan sungai. Sebelah barat kota
Singkwang berbatasan dengan laut natuna, Sebelah selatan dan timur kota
Singkawang berbatasan dengan Gunung Roban, Pasi, Raya,dan Gunung Poteng,
sedangkan di tengah-tengah kota Singkawang sungai yang mengalir ke laut natuna.
Masyarakat
Singkawang memiliki berbagai etnis sehingga Singkawang di kenal sebagai kota
multi etnis. Sebagian besar etnis yang ada di singkawang yaitu etis Melayu,
Dayak, dan Tionghua.Singkawang dikenal sebagai Hongkongnya Indonesia atau
kota Seribu Vihara karena etnis Tionghua yang ada
di Singkawang mencapai 42% dari jumlah penduduk kota Singkawang. Dalam
berkomunikasi etnis Tionghua menggunakan bahasa Khek/Hakka
sehingga takheran jika berada di kota Singkawang seperti berada di salah satu
sudut Kota Hongkong.Salah satu budaya etnis Tionghua adalah CAP
GO MEH yang di langsungkan 15 hari setelah tahun baru imlek.karnval
ta'aruf dan Pawai Takbir adalah salah satu budaya adat melayu yang
mayoritas beragama islam yang ada di Singkawang.sedangkan budaya etnis dayak
yang ada di Singkawang yaitu Naik Dango.
0o – 4o
108o – 109o
Singkawang juga
di sebut kota pariwisata, objek-objek pariwisata yang ada di singkawang
menggerakkan hati para wisatawan untuk datang ke kota Singkawang tersebut.Kota
Singkawang memiliki objek pariwisata yaitu : Pasir Panjang, Sinka Island
Park (Teluk Mak Jantu), Klenteng di Gunung Pasi, Gunung Sari, Bukit Bugenvil,
Taman teratai, dan Cap Go Meh yang merupakan budaya etnis Tiong
Hua.Objek-objek wisata tersebut itulah yang menambah devisa kota Singkawang.
Penamaan kota ini muncul dalam beberapa versi menurut bahasa, dalam versi Melayu dikatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman ‘Tengkawang’ yang terdapat diwilayah hutan tropis. Menurut versi bahasa Cina, Singkawang berasal dari kosa kata ‘San Kew Jong’ yang secara harfiah berarti Gunung Mulut Lautan, maksudnya suatu tempat yang terletak dikaki gunung menghadap ke laut.
Penamaan kota ini muncul dalam beberapa versi menurut bahasa, dalam versi Melayu dikatakan bahwa nama Singkawang diambil dari nama tanaman ‘Tengkawang’ yang terdapat diwilayah hutan tropis. Menurut versi bahasa Cina, Singkawang berasal dari kosa kata ‘San Kew Jong’ yang secara harfiah berarti Gunung Mulut Lautan, maksudnya suatu tempat yang terletak dikaki gunung menghadap ke laut.
Dari beberapa catatan sejarah Singkawang mulai dikenal oleh orang
Eropa sejak tahun 1834 yang tercantum dalam buku tulisan George Windsor Earl
berjudul “The Eastern Seas” yang menyebut nama kota ini dengan kata ‘SINKAWAN’.
Pada masa itu Singkawang lebih dikenal sebagai daerah koloni Cina dimasa
kongsi-kongsi penambang emas berkuasa dengan Monterado sebagai pusat kekuasaan
para penambang tersebut (dalam tulisan sejarah tersebut nama seseorang bernama
Kung She yang dipercaya memiliki pengaruh).
Catatan lainnya juga didapat dari salah satu tulisan G.F De Bruijn
yang termuat dalam De Volken Van Nederlandsch Indie (1920) berjudul “De
Maleiers” yang terjemahannya berbunyi : “……….beberapa puluh mil disebelah
selatan kerajaan (Sambas,pen) dibangun sebuah kota yang dimaksud sebagai kota
pemerintahan (Belanda)”.
Singkawang Bagian dari Sebuah Kerajaan
Singkawang Bagian dari Sebuah Kerajaan
Pada masa lalu Singkawang merupakan bagian dari Kerajaan
Sambas namun pusat kekuasaannya dan pusat kegiatan belum sampai menjamah
Singkawang, hal ini disebabkan masih dominannya kuasa ekonomi ditangan
kongsi-kongsi Monterado. Sebaliknya kekuasaan raja-raja Sambas masih mampu
mengatasi berbagai pemberontakan termasuk bantuan yang diberikan Kompeni
Belanda dengan mengirimkan Overste Zorg, namun dengan berbagai kejadian itu
Kerajaan Sambas merasa belum perlu memanfaatkan Singkawang terutama
pelabuhannya karena Sambas sendiri memiliki pelabuhan yang cukup baik dan
memenuhi syarat pada masa itu.
Singkawang Masa Belanda-Jepang
Seiring kekuasaan yang masih dipegang penuh oleh Kerajaan
Sambas, Belanda juga mulai melirik daerah-daerah diluar Jawa termasuk Singkawang,
maka pada tahun 1891 segera dibuka jalur pelayaran pantai terutama yagn
berdekatan dengan Singapura yang ketika itu merupakan poort (gerbang) keluar
masuknya kapal-kapal terutama setelah dibukanya teruzan Suez dan di Sinkawang
dibangun pelabuhan lengkap dengan cabang (agent) KPM (Konijnlijk Peketvaart
Maatschappij), demikian pula pendukung modal asing (Belanda) yang diberikan
kesempatan beroperasi, yakni Perusahaan Listrik ANIEM (Algemene Nederlands
Indiesche Elecktriesche Maatschaappij). Belanda juga membangun jalan-jalan
darat ditahun 1912, meliputi jalur Pemangkat, Singkawang, Bengkayang yang
dikenal dengan Pendareng.
Sebuah peraturan Pemerintah Hindia Belanda yang termuat
dalam Staatsblad tahun 1938 nomor 352 yang dekeluarkan oleh Gubernur Jendral
Hidia Belanda yang mengatur bahwa Borneo ditetapkan sebagai wilayah
administratif dengan ibukota terletak di Banjarmasin. Wilayah administratif
Borneo (Kalimantan) ini dibagi dalam dua keresidenan yaitu Kersidenan Borneo
bagian Selatan dan Timur. Residensi Kalimantan bagian Barat dengan Ibukota
Pontianak.
Pada saat itu Singkawang merupakan sebuah kewedanaan
disamping kewedanaan Pemangkat dan Bengkayang.
Beberapa catatan sejarah mengenai perjuangan masyarakat
Singkawang pada masa ini antara lain
- Pernah menjadi pos terdepan dalam melawan gerakan
PGRS/Paraku;
- Ekspansi ke Malaysia;
- Perlawanan terhadap G.30.S/PKI
Sumber : “Singkawang, Lika liku perjalanan menuju ke
sebuah pemerintahan kota” M.J. Mooridjan
Langganan:
Postingan
(
Atom
)